Lompat ke konten
Beranda » Mengapa Budaya Bidu dan Likurai Dilupakan, Sementara Kizomba Diagungkan di Timor?

Mengapa Budaya Bidu dan Likurai Dilupakan, Sementara Kizomba Diagungkan di Timor?

Tampak sejumlah penari pemuda Kabupaten Malaka menampilkan tarian tradisional likurai
Foto: Tarian Likurai pembukaan Eltari Memorial Cup 2019 Kabupaten Malaka. (Sumber: Facebook/LENSA ETMC 2019)

Sejak dahulu hampir di berbagai pelosok tanah Timor, hidup tarian-tarian warisan leluhur seperti Bidu dan Likurai yang menggambarkan kehormatan, etika, dan relasi sosial antar masyarakat. Likurai dibawakan oleh perempuan-perempuan dengan tabuhan gendang (bibiliku) kecil untuk menyambut pahlawan atau menghormati leluhur. Sementara Bidu di jaman dahulu merupakan bentuk tarian khas yang mengajarkan nilai kesopanan dalam mendekati lawan jenis atau dalam hal pencarian jodoh. Keduanya memiliki ruang sakral dalam kehidupan orang Timor, sehingga dipandang bukan sekadar hiburan, melainkan sarana pendidikan nilai dan moral.

Namun kini, gema gendang itu perlahan surut akibat budaya-budaya asing warisan kolonial yang memunculkan irama musik baru berupa dansa modern seperti kizomba yang begitu cepat merebut perhatian anak-anak muda. Dengan ritme khas dan gerakan sensual sehingga kizomba terlihat anggun dan modern. Tapi di balik keindahan gerakannya, ada benturan nilai yang tidak bisa diabaikan yaitu bagaimana antara pasangan yang berlawanan jenis harus berpelukan erat sambil menggerakan kaki dan anggota tubuh yang lain mengikuti irama musik.

“Budaya adalah akar. Siapa yang meninggalkan akar, akan tumbang di tanah sendiri”

Kizomba berasal dari Angola dan berkembang di era kolonial Portugis pada awal abad ke-20. Tarian ini lahir dari perpaduan antara musik urban dan gerakan tarian rakyat Afrika yang telah mengalami pengaruh barat. Dalam perkembangannya, kizomba masuk ke wilayah-wilayah berbahasa Portugis, termasuk Timor Leste, dan secara tidak langsung memengaruhi selera budaya generasi muda di perbatasan NTT. Di balik popularitasnya, kizomba sebenarnya menyimpan warisan kolonial yang cukup dalam, baik dari segi bentuk maupun nilai yang dibawanya.

Yang menjadi persoalan utama adalah cara tarian ini mempertontonkan keintiman fisik antara laki-laki dan perempuan. Dalam budaya Timor yang menjunjung tinggi nilai etika kesopanan dalam pergaulan, gerakan tarian seperti kizomba yang mengharuskan pelukan erat dan kontak tubuh yang intens sangat bertentangan dengan nilai dasar yang hidup mengakar ditengah-tengah masyarakat Timor.

Hal ini menjadi lebih kontras lagi jika dilihat dari kacamata adat Wesei-Wehali, salah satu budaya besar dan tua di Timor. Dalam struktur nilai Wehali, perempuan ditempatkan dalam posisi yang sangat terhormat. Mereka disebut sebagai “lulik” (yang suci) dan tidak boleh disentuh sembarangan, baik secara fisik maupun non fisik. Etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan diatur secara ketat, dengan batasan-batasan yang mencerminkan perlindungan dan penghormatan terhadap martabat perempuan yang lebih tinggi.

“Di bumi Wesei-Wehali, martabat perempuan adalah mahkota para lelaki. Segala kehormatan ada pada mahkota anda”

Dalam konteks ini, kehadiran tarian seperti kizomba menjadi bentuk pelemahan nilai adat. Ketika pelukan erat dan gerakan sensual dipertontonkan secara bebas dalam pergaulan anak muda, maka kita sebenarnya sedang menyaksikan sebuah tabrakan antara nilai leluhur dan budaya hiburan modern yang dibungkus dalam label “kebebasan berekspresi.”

Fenomena ini mencerminkan lebih dari hanya sekadar perubahan selera. Ini adalah bagian dari gejala yang menurut Prof. James Clifford (antropolog budaya dari Harvard) sebagai “dislokasi kultural”, yakni saat suatu komunitas tercerabut dari akar tradisinya karena terpesona oleh gaya hidup dan ekspresi budaya luar yang dianggap lebih modern. Ketika budaya lokal tidak lagi diwariskan, dihidupi, atau diberi ruang dalam kehidupan masyarakat, maka lambat laun akan menghilang.

Dalam konteks Indonesia Timur, Dr. Maria Barreto (budayawan Timor) pernah menulis bahwa “budaya bukan hanya warisan leluhur, melainkan juga penanda jati diri. Jika kita meninggalkan budaya sendiri, kita bukan hanya kehilangan tarian, tapi juga kehilangan orientasi hidup dan harga diri komunitas.” Dengan kata lain, tarian adat seperti Likurai dan Bidu bukan sekadar sebagai pertunjukan, melainkan gambaran dari sistem nilai dan filosofi hidup orang Timor.

Sementara itu, antropolog Indonesia seperti Dr. I Made Bandem menekankan pentingnya revitalisasi budaya lokal di tengah arus globalisasi. Menurutnya, globalisasi memang membawa keterbukaan, tetapi hanya budaya yang memiliki akar kuat yang bisa bertahan. Maka, menjaga budaya bukanlah menolak budaya luar, tetapi memberi tempat yang adil bagi budaya sendiri agar bisa berdialog dengan dunia luar tanpa kehilangan bentuk dan makna aslinya.

“Seorang anak Timor yang lupa budayanya, ibarat pohon sagu yang tumbuh diatas padang pasir. Ia bertumbuh besar tetapi tumbang ketika diterpa angin”.

Sayangnya, pendidikan budaya di sekolah-sekolah kita masih sangat lemah. Anak-anak Timor banyak yang tidak lagi mengenal sejarah atau makna tarian adat. Mereka belajar dansa modern dari media sosial, dari tontonan digital, tanpa pemahaman konteks. Pemerintah daerah pun jarang mengalokasikan anggaran untuk pelatihan budaya lokal atau menjadikan tarian tradisional sebagai bagian wajib dalam acara-acara resmi.

Jika generasi tua diam dan generasi muda kehilangan arah, maka budaya akan cepat dilupakan. Bidu dan Likurai akan tinggal nama. Yang tersisa hanya tarian-tarian luar yang tidak merepresentasikan nilai-nilai kita.

Namun masih ada harapan. Banyak komunitas budaya di Timor mulai menghidupkan kembali tarian-tarian ini lewat sanggar, festival lokal, bahkan melalui platform digital. Ini langkah yang patut didukung. Karena seperti dikatakan oleh Clifford Geertz, “Budaya adalah jaring makna yang dipintal manusia sendiri.” Maka jika jaring itu putus, manusia akan terombang-ambing dalam dunia yang tidak ia kenali.

Budaya adalah identitas. Tarian adat adalah bahasa tubuh dari nilai-nilai yang hidup. Mari hidupkan kembali gong dan kendang. Mari buka ruang baru bagi tarian adat tampil di panggung modern. Kita tidak harus menolak yang datang dari luar, tetapi kita harus memastikan bahwa yang dari dalam tidak mati dalam senyap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tampak muda-mudi Malaka memeragakan tarian likurai