
Jika Anda membuka peta Pulau Timor hari ini, ada satu fakta geografis yang tampak janggal sekaligus menarik. Oekusi, sebuah wilayah yang secara lokasi dikelilingi oleh Indonesia, tetapi secara politik merupakan bagian dari Timor Leste. Banyak orang bertanya, kenapa bisa seperti itu? Untuk menjawabnya, kita harus menelusuri sejarah panjang kerajaan lokal Timor, awal mula kedatangan Portugis, dan dinamika perebutan pengaruh antara dua kekuatan kolonial besar yaitu Portugis dan Belanda.
Sebelum batas negara modern terbentuk, wilayah barat Pulau Timor dihuni oleh masyarakat adat yang terorganisasi dalam kerajaan-kerajaan kecil. Salah satunya adalah Kerajaan Ambenu, yang berpusat di daerah yang kini dikenal sebagai Oekusi. Ambenu merupakan kerajaan saudara dari kerajaan-kerajaan lain di Pulau Timor termasuk salah satunya Amfoan, yang berpusat di wilayah sekitar Amfoang saat ini, Kabupaten Kupang, Indonesia. Keduanya adalah bagian dari kelompok etnis Atoni Pah Meto, yang sama-sama berbahasa Dawan, berbudaya rumah bulat (ume kbubu), dan struktur adat yang hampir sama. Hubungan darah, budaya, dan bahasa ini membuat mereka nyaris tak terpisahkan. Namun sejarah berkata lain ketika bangsa Eropa mulai datang membawa misi dagang, misi agama, dan misi penjajahan.
Pada awal abad ke-16, Portugis mencari wilayah strategis untuk memperkuat jaringan perdagangan cendana dan penyebaran agama Katolik. Lifau, sebuah pelabuhan kecil di wilayah Ambenu, menjadi tempat pendaratan pertama Portugis di Pulau Timor. Dari Lifau, Portugis menjalin hubungan dengan Kerajaan Ambenu. Mereka membangun misi Katolik, mengangkat raja lokal sebagai sekutu, dan menjadikan Lifau sebagai pusat perdagangan cendana dan kegiatan gereja. Karena posisinya strategis dan aman, Lifau sempat menjadi ibu kota koloni Portugis di Timor hingga 1769, sebelum dipindahkan ke Dili akibat serangan dari Topass (Portugis hitam) dan perlawanan masyarakat lokal.
Ketika Belanda memperluas pengaruhnya dari Kupang ujung barat Pulau Timor dan wilayah sekitarnya, mereka mulai membina aliansi dengan kerajaan-kerajaan lokal yang belum sepenuhnya berada dalam lingkaran Portugis. Salah satunya adalah Kerajaan Amfoan, saudara terdekat Ambenu. Belanda menjalin perjanjian dagang dan proteksi dengan raja Amfoan, yang menginginkan otonomi dari pengaruh Portugis. Sedangkan Ambenu tetap setia kepada Portugis. Maka untuk waktu yang lama, dua kerajaan bersaudara ini Ambenu dan Amfoan berdiri di bawah dua penjajah yang berbeda. Dan inilah awal dari pembelahan administratif yang kelak menjadi perbatasan internasional.
Untuk mengakhiri perselisihan kolonial, Portugis dan Belanda menandatangani Perjanjian Den Haag tahun 1859, di mana keduanya saling menyerahkan dan mengakui wilayah jajahan masing-masing. Dalam perjanjian ini, Ambenu (Oekusi) diakui sebagai bagian Portugis, sementara Amfoan dan wilayah sekitarnya diakui sebagai bagian Belanda. Namun, batasnya masih bersifat umum, tanpa penetapan koordinat geografis yang jelas.
Untuk mengatasi ketidakjelasan tersebut, kedua negara menandatangani Perjanjian Batas Belanda–Portugis tahun 1904. Perjanjian ini bertujuan untuk mengklarifikasi wilayah yang dipersengketakan, terutama antara kerajaan-kerajaan lokal yang berbagi garis adat tetapi berada dalam pengaruh dua kekuasaan kolonial, serta menetapkan batas-batas wilayah Ambenu (Portugis) dan Amfoan (Belanda) secara teknis, termasuk garis batas di darat. Namun, karena keterbatasan teknologi pemetaan dan perlawanan dari masyarakat adat, implementasinya belum final.
Pemetaan baru dilakukan secara menyeluruh dan lengkap pada tahun 1914, dengan penandatanganan perjanjian akhir batas wilayah oleh kedua kekuatan kolonial. Perjanjian 1914 memuat garis batas yang sangat detail hingga ke desa dan topografi wilayah. Hasilnya: Oekusi secara resmi dan internasional diakui sebagai wilayah eksklave koloni Portugis di dalam wilayah Belanda. Perjanjian ini menjadi landasan hukum yang tetap digunakan hingga era kemerdekaan, dan tak pernah dibatalkan oleh perjanjian modern, termasuk oleh Indonesia maupun Timor Leste.
Ketika Indonesia merdeka pada 1945, bekas wilayah Belanda masuk dalam wilayah RI, termasuk Amfoan. Sedangkan wilayah ekskoloni Portugis, termasuk Oekusi (Ambenu), tetap berada di bawah Portugal hingga akhirnya Timor Timur merdeka dan menjadi negara Timor Leste tahun 2002. Karena dari awal Oekusi adalah bagian dari wilayah kolonial Portugis, maka secara otomatis dan sah Oekusi menjadi bagian dari Timor Leste, meski secara geografis berada di tengah wilayah Indonesia.
Oekusi kini dikenal dengan nama resmi RAEOA – Região Administrativa Especial de Oé-Cusse Ambeno, sebuah wilayah administratif khusus yang diberi otonomi oleh pemerintah Timor Leste, karena lokasinya yang terpisah (exclave), sejarahnya yang panjang, dan budaya khas Atoni Meto yang masih dijaga. RAEOA dikelola secara semi-otonom dan kerap dianggap sebagai model pembangunan inklusif di luar Dili.
Sejarah Oekusi-Ambenu merupakan fakta historis bagaimana kolonialisme memisahkan saudara: Ambenu dan Amfoan, serta kerajaan-kerajaan Meto lainnya yang sama-sama memiliki Budaya Meto, Bahasa Meto, Darah Meto, namun kini hidup di dua negara berbeda karena perjanjian antar penjajah. Tapi garis di peta tidak bisa memutus ingatan budaya. Di perbatasan, masyarakat Atoni Pah Meto tetap menyanyikan lagu yang sama, berbahasa Dawan, dan hidup dalam adat yang sama. Sehingga orang bijak berkata: Kita dipisahkan oleh sejarah kolonial, tapi disatukan oleh leluhur dan tanah leluhur. Atau Seperti pepatah Timor: “Nekaf mese ma ansaof mese“.
Referensi:
- Boxer, C. R. (1947). The Topasses of Timor. Amsterdam: Indische Instelling.
- Hägerdal, H. (2012). Lords of the Land, Lords of the Sea: Conflict and Adaptation in Early Colonial Timor, 1600 – 1800. Leiden: Brill.
- Gunn, G. C. (1999). Timor Loro Sae: 500 Years. Macao: Livros do Oriente.
- Schulte Nordholt, H. G. (1971). The Political System of the Atoni of Timor. The Hague: Martinus Nijhoff.
- Departemen Luar Negeri RI. (1975). Dokumen Perjanjian Batas Belanda–Portugis di Pulau Timor: 1859, 1893, 1904, 1914. Arsip Nasional RI.
- Silva, K. & Ximenes, A. (2008). Traditional Justice and Legal Pluralism in Timor-Leste. USIP.
- UNTAET. (2001). Special Administrative Region of Oecusse Report. Dili.
- Pusat Kajian Perbatasan UGM. (2015). Kajian Historis dan Geopolitik Wilayah Eksklave Oekusi. Yogyakarta: UGM Press.
- Pemerintah Timor Leste. (2014). Lei n.o 3/2014: Estatuto Especial da RAEOA.
- Kompilasi wawancara dan data lisan dari tokoh adat Ambenu dan Amfoan dalam youtube maupun grup facebook Sejarah Timor.